J. Kondoi & The Humans tampil religius dalam sebuah konser blues.

Malam itu, Gedung New Majestic yang sedang ingar bingar tiba-tiba senyap. Seluruh lampu padam, menandakan sebuah pertunjukan musik yang tidak biasa. Musik yang bercerita sejarah kelam sepanjang 500 tahun tentang musik itu sendiri.

Apa yang ditampilkan J. Kondoi & The Humans sebagai salah satu rangkaian pertunjukan musik blues di Braga Festival 2011 malam itu (Sabtu, 24/09) tentu memang jauh dari ekspektasi dan prediksi kebanyakan penonton. Namun, dari judul panjang dan unik yang dimunculkan, yaitu “Blues, or How The Slavery Plotted Against The Human’s Music in The Last 500 Years and Made Us Comfortably Nonchalant” yang artinya “Blues, atau Bagaimana Perbudakan Bersekongkol atas Musik Manusia dalam 500 Tahun Terakhir dan Membuat Kita Acuh-tak-acuh serta Nyaman-nyaman Saja”, penonton yang cukup jeli mungkin bisa sedikit menebak bahwa sebenarnya pertunjukan ini merupakan semacam komedi satir tentang bagaimana sejarah panjang perbudakan memunculkan bentuk musik modern (musik industri) yang kita kenal saat ini.

“Dulu Gedung ini merupakan simbol rasialisme bangsa kulit putih atas bangsa kulit berwarna. Arti dari slogan berbahasa Belanda yang terpampang di pintu Bioskop Majestic ini adalah ‘Anjing dan Pribumi dilarang masuk’ (voorbiden voor inlander en honden—red). Sementara di Gedung sebelah (Gedung Merdeka—red.), para pendahulu bangsa kita pada setengah abad lalu pernah berteriak lantang tentang kesetaraan bagi Bangsa Asia dan Afrika,” demikian tutur Budhi Kurnia, salah seorang pemeran dalam pertunjukan ini kala memberikan prolog kepada penonton malam itu tentang apa yang akan ditampilkan J. Kondoi & The Humans dalam konsernya.

Nyatanya, blues yang ditampilkan J. Kondoi & The Humans memang benar-benar bukan sekadar sebagai genre musik. Mereka mengistilahkan pertunjukan ini sebagai history-telling concert, yaitu sebuah penceritaan sejarah yang dilebur bersama performa musikal. Sesuai konteks sosio-kultur dan historianya, maka seluruh penceritaan dan lirik lagu memang dituturkan dalam Bahasa Inggris, kecuali satu lagu berbahasa Afrika berjudul Kay Kay Kule yang disuguhkan sebagai lagu pertama. Namun, panitia menyediakan panduan bagi penonton berupa libretto, yaitu selebaran teks berbahasa Indonesia yang berisi tentang alur penceritaan lengkap dari babak ke babak.

Memasuki abad ke-16, masa ketika (oknum) bangsa Eropa makin gencar melakukan ekspansi untuk menguasai tanah-tanah di berbagai belahan dunia, Afrika sedang mengalami masa kemajuan dalam hal kebudayaan dan literasi. Mereka telah meneropong bintang-bintang sebelum bangsa Eropa menyadari bahwa bumi ternyata tidak datar. Mereka melakukan perdagangan emas, tembaga, gading dan kulit binatang serta banyak hal lainnya—tapi dari semua perdagangan yang dilakukan, komoditi paling menguntungkan saat itu salah satunya adalah buku (!). Orang-orang Afrika juga sudah berinteraksi dengan penduduk asli Amerika (Indian), ratusan tahun sebelum Columbus tiba di Amerika.

“Konser ini merupakan interpretasi tentang alur panjang sejarah kelam perbudakan orang kulit hitam di Amerika dan bagaimana proses peristiwa kelam tersebut membentuk musik blues dan segala anak-cicitnya seperti yang kita kenal kemudian,” demikian penjelasan Jaka Kondoi (30 Tahun), pemeran tokoh utama dalam pertunjukan ini.

“Jika pada kebanyakan versi sejarah blues sering ditarik dari periode akhir abad ke-19 atau bahkan awal abad ke-20, maka lewat pertunjukan dengan kemasan storytelling ini, kami mengajak publik untuk menjajaki sejarah musik blues sepanjang lima abad, mulai dari akar musik blues itu sendiri di Afrika, masa perbudakan awal di Amerika pada awal abad ke-16 dan fase-fase perkembangannya selama berabad-abad, hingga blues di era modern seperti sekarang,” terang Kondoi yang di kalangan musisi blues Kota Bandung dikenal sebagai seorang filsuf blues.

Dalam situasi pahit, orang Afrika di Amerika bisa tetap meneruskan kultur bernyanyi mereka. Di tengah cambukan atau ikatan rantai dan bola-besi, mereka tetap menempatkan musik sebagai bagian dari keseharian. Di sinilah latar muasal istilah ‘blues’ muncul sebagai lantunan dan rintihan para budak atas ironi alur kehidupan mereka yang tragis, berputar balik dari sebuah puncak tinggi budaya tinggi terjerembab ke jurang penindasan.

Awalnya nama-nama mereka (para budak Afrika) adalah Lamine Kebe, Yarro Mamud, dan Kanti Kinte yang kemudian dihapukan dan diganti dengan ‘label’ baru seperti John, Frederick, atau Dixon. Bukan hanya soal nama, proses ‘format ulang’ kulturm intelektualitas, hingga mentalitas memang secara sengaja dilakukan oleh para (oknum) kulit putih selama berabad-abad. Kejahatan terbesar yang terjadi selama kurun waktu tersebut nyatanya bukan sekadar kerja paksa dan perbudakannya, melainkan proses pencabutan jati diri para orang-orang Afrika di Amerika dari generasi ke generasi, sehingga mereka terlepas begitu jauh dari jati diri muasalnya.

Taufanny Nugraha (27 tahun), creative director pertunjukan ini mengatakan sesungguhnya kita membutuhkan empati untuk memaknai blues. “Saya sering kali miris ketika melihat orang yang memaknai blues sekadar dengan berjingkrak-jingkrak, ingar-bingar panggung, dan apalagi alkohol. Padahal alur sejarah musik ini sangat-sangat kelam. Jika Anda normal, Anda mestinya menangis menyimak sejarah kelam ini, bukan malah tertawa dan berjingkrak-jingkrak di atas penderitaan dua puluh juta bangsa kulit hitam yang jadi korban perbudakan di Amerika,” kata Taufanny.*** (Demas Dirgahari/BGN)

 

Mengedukasi Apresiator Blues Tanpa Harus Menggurui

Pertunjukan musik blues yang digelar hari Sabtu (24/9)  mulai pukul 13.00 siang di gedung New Majestic, Bandung, merupakan salah satu event blues istimewa yang ada di Kota Bandung. Event ini diselenggarakan atas kerjasama komunitas Bandung Blues Society dengan penyelenggara Braga Festival. Durasi pertunjukan yang cukup panjang (pukul 13.00 – 23.00 WIB) dan dengan pengisi acara yang cukup banyak, membuat acara ini sebetulnya layak disebut festival blues.

Yoga Akbar Rabani atau lebih dikenal dengan panggilan Ogoy, yang bertindak sebagai inisiator sekaligus produser acara event ini mengaku tidak merasa cukup dengan hanya memberi suguhan pertunjukan musik. “Kita juga ingin memberi semacam edukasi pada penonton tanpa harus menggurui mereka,” katanya. Untuk mencapai sasaran itu, Ogoy menggaet  Jaka “Yudi” Kondoi sebagai co-producer untuk mewujudkan visinya ini.

Para penggemar blues yang menghadiri event ini, selain disuguhi penampilan beberapa band-band bergenre blues seperti Time Bomb Blues Reunion,  Blues Libre (Hari Pochang Band), No Generation Gap, D’blues Blaster dan Four Seasons, Sky Blues, Ginda & White Flowers, serta beberapa band lainnya, mereka pun diberi sedikit kejutan lewat performa teatrikal yang ditampilkan oleh J. Kondoi & The Humans.

Usai pertunjukan, Arumtyas Solihin (30 tahun), salah seorang peminat musik dari Jatinangor yang sengaja datang ke Braga Festival hanya untuk menyaksikan acara blues ini, mengatakan sangat puas atas pertunjukannya. “Penampilan J. Kondoi & The Humans benar-benar ‘menampar’, benar-benar sebuah kejutan keren. Ini baru blues, terima kasih sudah memberikan kebahagiaan dan apresiasi musik yang saya tunggu-tunggu selama ini,” kata Arum.

Jika kebanyakan musik blues saat ini dibawakan dengan ciri rock dalam format band, maka apa yang ditampilkan J. Kondoi & The Humans secara musikalitas malam itu merupakan representasi yang cukup komperehensif tentang alur sejarah blues sebagai musik. Mulai dari musik tradisional sebagai akar blues itu sendiri, kemudian worksong para budak yang dinyanyikan secara komunal dan bersahut-sahutan, gospel, delta blues dengan format akustik, hingga format full band yang mewakili era Chicago blues dan modern rock blues. Sedangkan proses penceritaan sejarah dituturkan dengan cukup padat di pembuka dan sela-sela lagu.

Hal lain yang paling menarik dalam interpretasi J. Kondoi & The Humans pada konser ini adalah cara pandang mereka atas musik secara umum. Cara pandang ini ditarik dari masa ketika ‘musik manusia’ masih ditempatkan secara utuh sebagai seni dan ekspresi yang selalu lekat di keseharian manusia. Ketika manusia bernyanyi bersama saat menanam benih atau saat merayakan panen; orang-orang di suku tertentu bahkan punya lagu tertentu sekadar untuk dinyanyikan saat menangkap burung; musik selalu menghiasi perayaan pernikahan atau pelbagai pesta rakyat; musik juga hadir di ritual sakral, dilantunkan sebagai bagian dari spiritualitas manusia. Semua orang bernyanyi, semua orang bermusik—semuanya dilakukan secara tulus dan bebas tendensi. Musik selalu lekat di setiap bagian hidup manusia dan alamnya.

Memasuki pertengahan abad ke-20, orientasi kebanyakan orang atas musik menjadi sangat terbatas pada musik industri (musik yang diputar di radio, yang dipertontonkan di televisi, yang digelar di panggung-panggung gemerlap). Seperti yang dikatakan oleh Taufanny Nugraha (27 tahun), creative director pertunjukan J. Kondoi & The Humans, bahwa musik kini seolah-olah telah dilepaskan dari kultur awalnya, aktivitas bernyanyi dan bermusik kemudian lebih kental dalam orientasi dunia selebritas, popularitas, gaya hidup, uang, trend. ‘Puncak’ simbolisasi situasi ini mulai terepresentasikan dengan tegas sepanjang dekade 1960-an dan terus terjadi hingga saat ini.

Menurut cara pandang J. Kondoi & The Humans, dulu perbudakan memang diartikan secara harfiah, sedangkan sejak paruh-paruh pertama awal abad ke-20, perbudakan dalam konteks yang sama menjadi sepadan dengan industri. Perbudakan bukan lagi berada di kamp-kamp kerja paksa, malainkan makin meluas di manapun—skemanya telah terbentuk dengan kokoh. Awalnya eksploitasi bangsa kulit putih atas bangsa kulit berwarna; bangsa penjajah atas bangsa terjajah; tuan tanah atas budak; kemudian beralih ke eksploitasi label rekaman atas penyanyi/pemusik; eksploitasi industrialis atas dunia selebritas dan konsumennya. Dalam skema inilah pencerabutan jati diri manusia terus terjadi. Kultur, pola pikir, hingga mentalitas, sehingga manusia tidak lagi sadar tentang apa yang sedang dilakukannya—seolah-olah baik-baik saja dan nyaman-nyaman saja.

“Sejatinya musik adalah refleksi dari kehidupan, bukan malah menjadi trend yang mengubah dan mengacak-acak perilaku serta kultur manusia seperti cara bicara, berpakaian dan berdandan, bertingkah laku, cara berfikir, serta mentalitas superior mengatur inferior,” ujar Lukas A. Felixtus (27 tahun), yang mengaku sebagai pengamat industri musik.

“Mungkin banyak orang bingung dengan pemikiran yang kami sampaikan. Namun kebingunan semacam ini memang bukan hal aneh. Ini karena proses pencerabutan cara pandang pun telah berlangsung sepanjang berabad-abad, dalam bentuk penjajahan dan segala macam hal yang kemudian berdampak terhadap inferioritas. Semoga melalui penceritaan proses panjang sejarah kelam dalam konser ini cukup untuk mengubah kerangka berpikir dan mentalitas kita sebagai manusia,” ucap Lukas di akhir obrolan.

Senada dengan apa yang dijelaskan oleh Lukas, salah seorang personel The Humans lainnya, Jon Kastella (29 tahun) mengatakan terlepas dari bagaimana gaya konser ini disajikan, visi yang diemban oleh para personel J. Kondoi & The Humans mudah-mudahan bisa memperkaya cara pandang masyarakat kita terhadap musik sekaligus sejarahnya. “Cengkraman gurita industri memang sangat kuat, tapi setidaknya kami menampilkan konser ini  betul-betul dengan kesadaran penuh,” jelas Jon.*** (Demas Dirgahari/BGN)

Ditulis oleh: J. Kondoi (Dari berbagai sumber)

W. C. Handy (The Father of Blues)

Apakah Blues itu?

“I’m afraid I came to think that everything worthwhile was to be found in books. But the blues did not come from books. Suffering and hard luck were the midwives that birthed these songs. The blues were conceived in aching hearts.”  – William Cristopher Handy

“At the pulsating core of their emotional center, the blues are the spiritual and ritual energy of the church thrust into eyes of life’s raw realities. Even though they appear primarily to concern themselves with the secular experience, the relationships between males and females, between boss and worker, between nature and Man, they are, in fact, extensions of the deepest, most pragmatic spiritual and moral realities. Even though they primarily deal with the world as flesh, they are essentially religions. Because they finally celebrate life and the ability of man to control and shape his destiny. The blues don’t jive. They reach way down into the maw of the individual and – collective experience.”Larry Neal

” …the most astonishing aspect of the blues is that, though replete with a sense of defeat and down-heartedness, they are not intrinsically pessimistic: their burden of woe and melancholy is dialectically redeemed through sheer force of sensuality, into an almost exultant affirmation of life, of love, of sex, of movement, of hope. No matter how repressive was the American environment, the Negro never lost faith in or doubted his deeply endemic capacity to live. All blues are a lusty, lyrical realism charged with taut sensibility.”Richard Wright

“And if blues is her sadness, then blues music is her cure.” –  Bob Margolin

Kutipan di atas cukup memberikan gambaran tentang blues secara definitif. Bahwa blues bermakna perasaan sedih, kehilangan, penderitaan, atau sesuatu yang tidak kita harapkan. Dan blues adalah upaya untuk mengatasi kondisi-kondisi tersebut. Kesedihan di dalam musik blues tidak berarti sesuatu yang sentimentil, melainkan hanya sebuah jalan untuk berinteraksi dengan kehidupan.

Sekadar mengingatkan kembali, musik blues adalah musik yang berasal dari Selatan Amerika yang mempunyai akar dari Afrika. Pengaruhnya mengglobal ke seluruh dunia dalam berbagai bentuk yang baru seperti Rock and Roll, Jazz, R n B, hingga Country. Dan blues merupakan dokumentasi budaya Afrika-Amerika yang penting pada abad 20. Berbagai bentuk blues mendokumentasikan sejarah Amerika abad ke-18 yang merupakan jaman depresi yang hebat. Mencatat berbagai fenomena mulai dari konflik ras, pop kultur, migrasi kaum rural–dari masyarakat agrikultur–beralih menjadi kaum industri.


Tipikal Musik Blues

Di sisi lain, blues juga  adalah sebuah perayaan akan hidup. Kita akan menemukan lagu-lagu blues yang menyatakan kegembiraan. Sama seperti apa yang umum ditemukan pada genre musik lain yang di dalamnya juga mengandung kesedihan dan kegembiraan. Kehadiran yang bersamaan antara kesedihan dan kegembiraan ini memang menjadi paradoks dalam blues. Namun secara garis besar, jelas sudah bahwa kesedihan dan upaya serta harapan untuk mengatasinya sudah menjadi tipikal blues itu sendiri.

Manuasiawi rasanya, jika kita selalu mengalami kebahagiaan dan kesedihan selama hidup kita. Justru apabila kita menegasikan (menyangkal) salah satunya, berarti kita menegasikan hidup. Bukanlah hal yang cengeng untuk berbicara atau menyanyikan kesedihan, tapi juga janganlah kita hanyut dengannya terus-menerus. Sisi manuasiawi di sini justru menunjukkan bahwa kita adalah mahluk yang kuat sekaligus rapuh, kita harus mengakui kelemahan kita. Dan blues adalah media estetik yang memberikan jalan bagi kita untuk tetap optimistik dalam kondisi apapun, memberikan jalan untuk menguatkan harapan.

Kita sering mendengar banyak lagu dalam berbagai genre yang menceritakan kesedihan tapi sangat sentimentil yang terus hanyut dalam kesedihannya itu. Blues justru sebaliknya. Blues itu anti status quo, blues itu sesuatu yang dinamis–yang menginginkan selalu perubahan ke arah yang lebih baik.


Struktur Musik dan Lirik

Musik blues menggunakan sebuah struktur harmonik 12 bar. Dengan progresi chord 1 – 4 – 5, contoh: A (1)- D (4)-E (5). Chord A digunakan dalam bar pertama hingga ke empat, dan D – A – E – A akan bergantian tiap dua bar, dengan bar terakhir sebagai bridge untuk kembali ke awal.

Kita juga bisa mengkaji lebih dalam mengenai blues dengan mengkaji liriknya. Biasanya struktur lirik lagu blues mempunyai beberapa bait yang terdiri dari tiga baris, dalam bentuk AAB. Seperti pantun, yang pertama–yang diulang–disebut sebagai kulit atau cangkang, sedangkan baris terakhir adalah isi atau jawabannya.

Di bawah ini ada contoh-contoh lagu dan lirik untuk mengenal bentuk dan isi sebuah lagu blues:

Red House by Jimi Hendrix

There’s a red house over yonder, that’s where my baby stays.
There’s a red house over yonder, baby, that’s where my baby stays.
Well, I ain’t been home to see my baby in about ninety nine and one half days,
’bout time I see her.

Wait a minute, something’s wrong, baby.
The key wont unlock the door.
Wait a minute, something’s wrong
The key wont unlock the door.
I got a bad, bad feeling that my baby don’t live here no more.

I might as well go on back down,
go back ‘cross yonder over the hill.
I might as well go back over yonder
way back yonder ‘cross the hill, (That’s where I come from)
‘Cos if my baby don’t love me no more.
I know her sister will!

I Believe I’ll Dust My Broom by Robert Johnson

I’m goin’ get up in the mornin’, I believe I’ll dust my broom
I’m goin’ get up in the mornin’, I believe I’ll dust my broom

Girlfriend, the black man you been lovin’, girlfriend, can get my room

I’m gon’ write a letter, telephone every town I know
I’m gon’ write a letter, telephone every town I know
If I can’t find her in West Helena, she must be in East Monroe I know

I don’t want no woman, wants every downtown man she meet
I don’t want no woman, wants every downtown man she meet
She’s a no good doney, they shouldn’t allow her on the street

I believe, I believe I’ll go back home
I believe, I believe I’ll go back home
You can mistreat me here, babe, but you can’t when I go home

Kalimat pertama dalam setiap bait, diulang lalu diikuti oleh kalimat ketiga yang merupakan jawaban untuk kalimat sebelumnya. Coba perhatikan kalimat terakhir dari kedua lagu tersebut, sebuah harapan bukan? Setelah sebelumnya menceritakan kesedihan.

Kesedihan dalam blues itu bersifat umum. Lagu di atas menceritakan kesedihan tentang kekasih yang tidak bisa dipercaya. Sekarang coba bandingkan dengan lagu di bawah ini yang bercerita kesengsaraan di saat banjir:

Backwater Blues (version I) by Bessie Smith

When it rains five days and the skies turn dark as night
When it rains five days and the skies turn dark as night
Then trouble’s takin’ place in the lowlands at night

I woke up this mornin’, can’t even get out of my door
I woke up this mornin’, can’t even get out of my door
There’s been enough trouble to make a poor girl wonder where she want to go

Then they rowed a little boat about five miles ‘cross the pond
Then they rowed a little boat about five miles ‘cross the pond
I packed all my clothes, throwed them in and they rowed me along

When it thunders and lightnin’ and when the wind begins to blow
When it thunders and lightnin’ and the wind begins to blow
There’s thousands of people ain’t got no place to go

  • BERSAMBUNG

B. B. King

Ditulis oleh: J. Kondoi (Rangkuman dari berbagai sumber)

Selayang Pandang
“Blues is a mother of American Music.”B. B. King

“A chair, not a design for a chair, or a better chair, it is the first chair. It is a chair for sitting on, not chairs for looking at or being appreciated. You sit on that music.” John Lennon

Kutipan komentar dua tokoh musik di atas cukup representatif untuk mendorong kita melihat lebih dalam–sejauh mana–blues mempengaruhi musik kontemporer seperti Jazz, R n B, Country, Funky, Soul, Rock, beserta turunan-turunannya. Musik Funky misalnya, adalah perkembangan dari musik Soul, kemudian dari Soul muncul R n B, sedangkan Soul sendiri berasal dari musik Gospel yang merupakan tempat bertenggernya musik Blues.

B. B. King adalah duta blues yang berasal dari generasi akhir 40-an. Di awal era 50-an ada nama-nama besar seperti Muddy Waters, Lightnin’ Hopkins, John Lee Hooker, Howlin’ Wolf, Willie Dixon, Elmore James dan masih banyak lagi. Merekalah yang nantinya banyak mempengaruhi musisi-musisi generasi berikutnya, terutama dari era 60-an.

Alexis Corner, seorang tokoh jazz dan blues kawakan asal Inggris pernah mendatangkan mereka untuk tur ke Eropa. Konon itulah yang menjadi awal lahirnya “British Invasion (fenomena kreativitas orang-orang Inggris yang mulai banyak mengembangkan musik blues ke dalam bentuk lain). Salah satu tur yang paling berpengaruh di Inggris adalah ketika datangnya Muddy Waters pada tahun 1958, karena setelah itulah musik blues di Inggris semakin merebak dan mulai membius kaum urban.

Musisi-musisi blues generasi akhir 40-an pada dasarnya hanya mengubah bentuk blues dari permainan akustik Delta Blues (bentuk awal gaya musik blues) ke gaya Electric Blues dengan menambahkan beberapa instrumen seperti amplifier dan gitar elektrik. Secara umum jenis gaya permainan musik ini disebut Chicago Blues, karena di kota Chicago-lah awal munculnya band-band combo atau musisi-musisi (yang kebanyakan adalah kaum pendatang dari Misisipi atau dari daerah selatan) bergaya electric blues. Akan sangat mudah untuk mengenali perbedaan ciri khas identitas Chicago Blues seperti yang dimainkan B. B. King dan Muddy Waters jika kita mau membandingkannya dengan gaya permainan delta blues pada karya-karya dari musisi legendaris seperti Robert Johnson, Bukka White, atau Blind Willie Mc Tell.

Kembali lagi ke Inggris. Alexis Corner dengan komunitasnya bagaikan sebuah universitas yang melahirkan alumni-alumni yang akhirnya muncul sebagai musisi-musisi legendaris. Sebut saja di antaranya adalah Jimmy Page, Robert Plant (Led Zeppelin), Mick Jagger, Keith Richards, Ron Wood, Brian Jones, Charlie Watts, Bill Wyman (The Rolling Stones), Eric Burdon (The Animals), Eric Clapton (Cream), Jeff Beck (Jeff Beck Group) dan banyak lagi. Mereka bertemu satu sama lainnya dalam komunitas bimbingan Alexis Corner tersebut.

Patut diingat juga bahwa musisi besar Amerika seperti Jimi Hendrix (yang hanya mempunyai 5 tahun saja untuk berkarir dalam musik, lalu karya dan kehidupannya menjadi abadi), adalah tokoh legendaris yang justru tidak dibesarkan di Amerika. Dunia mengenal namanya setelah Chas Chandler (bassist The Animals) membawanya ke Inggris lalu memberi kesempatan pada bakat dan intensitas Hendrix dalam mencurahkan hasratnya dalam bermusik. Ada pula nama-nama besar lainnya yang walaupun kemunculannya didahuli oleh orang-orang Inggris, namun karya-karyanya turut terpengaruh dari gaya musik Muddy Waters dan kawan-kawan. Sebut saja di antaranya adalah Aerosmith, The Doors, Johnny Winter, Paul Butterfield, The Electric Flag, Creedence Clearwater Revival, dan lain-lain. (**)

Sekilas (tentang) Pengaruh Blues Terhadap Rock n Roll, Jazz dan Folk
Menarik jika kita perhatikan komentar  John Lennon di awal tulisan ini. Dia tentunya bukanlah seorang blues-man seperti John Mayall (father of  British Blues). Dia dengan The Beatles-nya disinyalir tidak akan pernah ada jika tanpa pengaruh musik Chuck Berry dan Carl Perkins yang mengusung Rock n Roll. Bahkan Lennon pernah berkomentar tentang rock and roll, “kalau anda ingin menyebut nama lain selain rock and roll, sebut saja Chuck Berry!”.

Senada dengan komentar yang dilontarkan John Lennon, Muddy Waters pun menyebutkan bahwa rock n roll itu sendiri lahir dari blues. “And the blues had a baby and they named it rock n roll!”. Demikian sebuah selentingan syair dari lagu Muddy Waters. Tentunya lewat keterangan kedua tokoh ini, cukup jelas sudah bahwa akar dari musik Rock n Roll adalah Blues.

Ada satu cerita menarik lain dari musik Rock and Roll. Sam Phillips manajer Sun Records yang membawa Elvis pertama kali ke dapur rekaman pernah berkata, “kalau aku bisa mendapatkan orang kulit putih dengan ‘negro soul’ aku bisa dapat ribuan dollar,” katanya. Dan ternyata mimpinya menjadi kenyataan ketika dia menemukan Elvis Aaron Prestly tahun 1953 yang kemudian menjadi abadi dikenang sebagai raja. Pernah ada satu komentar unik tentang Elvis terkait dengan musik blues: “Elvis, he is nothing but white man singin’ the blues!“.

Jazz, walaupun (mungkin) tidak secara hirarkis berasal dari blues, tapi para ahli sependapat bahwa musik blues dan ragtime yang sudah banyak dimainkan sejak awal tahun 1800-an dianggap menjadi embrio jazz yang sebenarnya. Bisa jadi, musik jazz yang dianggap sebagai musik yang paling demokratis di muka bumi ini memang berdasarkan sifatnya yang dinamis (penuh dengan improvisasi), sangat terbuka dan mudah diterima oleh segala lapisan masyarakat. Dan mungkin karena sifat-sifat itu pula kemudian Jazz terus menerus berkembang dan mengalami berbagai kemajuan hingga saat ini.

Folk (musik rakyat) yang dimaksud di sini yaitu musik tradisional hasil perpaduan kultur kulit putih di Selatan Amerika dengan para budak kulit hitam (keturunan Afrika) yang sekitar abad 18 dan 19 sempat menjadi populasi penduduk yang paling besar disana. Seperti halnya jazz yang juga merupakan perpaduan dua kebudayaan (Eropa dan Afrika), folk dan jazz merupakan dua gaya musik yang berbeda. Meski begitu, kedua musik ini  tapi mempunyai kesamaan yaitu mendapatkan pengaruh langsung dan signifikan dari blues. (**)

Gary Moore (www.decibelmagazine.com)

Publik musik telah kehilangan salah satu gitaris blues-rock legendaris yang menjadi panutan banyak gitaris dunia. Nama-nama besar seperti Kirk Hammett, Zakk Wylde, Randy Rhoads, John Sykes, Vivian Campbell, Adrian Smith, hingga John Norum, konon telah banyak terpengaruh gaya permainan gitar sang legenda ini.

Robert William Gary Moore, nama asli pria berdarah Irlandia ini dilahirkan di Belfast, 4 April 1952. Tadinya, ia berangkat ke Estepona, Spanyol untuk liburan sebelum memulai proses rekaman untuk album barunya. Ia baru saja membeli sebuah gitar baru untuk digunakan saat proses rekaman serta di tur dunia yang rencananya digelar tahun 2011 ini. Namun nasib berkata lain. Gary menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Minggu, 6 Februari 2011 setelah mengalami serangan jantung saat tertidur di kamar hotel Kempinski.

Ketertarikan Gary pada gitar berawal sejak masih berusia 8 tahun. Enam tahun kemudian, ia beralih dari gitar akustik ke elektrik dan mulai sering mendengarkan lagu-lagu milik Albert King, Elvis Presley, The Shadows hingga The Beatles. Setelah berusia 16 tahun, ia pindah ke Dublin. Di sana, referensi musik Gary makin berkembang. Ia terpesona dengan gaya permainan Jimi Hendrix, Eric Clapton di John Mayall’s Bluesbraeakers serta Peter Green (Fleetwood Mac). Disinyalir sejak saat itulah pondasi blues pada permainan Gary mulai mengental.

Karir profesional Gary mulai menonjol setelah bergabung dengan sebuah grup bernama Skid Row (bukan band hard rock asal Amerika yang diperkuat vokalis Sebastian Bach). Kemudian pada tahun 1973, ia direkrut untuk menjadi gitaris tetap di band legendaris, Thin Lizzy. Pada tahun 1974, Gary sempat keluar dari band tersebut, namun kembali bergabung empat tahun kemudian. Bersama Thin Lizzy, Gary berhasil menelurkan salah satu album terbaik mereka sepanjang masa, berjudul “Black Rose: A Rock Legend” (1979).

Juli 1979, Gary sekali lagi keluar dari Thin Lizzy, namun tetap menjaga hubungan baik dengan Phil Lynott, sang vokalis yang sekaligus bassis band tersebut. Phil adalah orang yang turut membantu proses produksi debut solo Gary yang berjudul “Grinding Stone” (1973). Bahkan, kerjasama mereka berlanjut di album kedua Gary, “Back On The Streets” (1978) yang salah satu lagunya, “Parisienne Walkways” berhasil masuk jajaran 10 besar single terlaris di Inggris pada masa itu.

Hingga tahun 1989, Gary berhasil melahirkan Sembilan album solo yang yang berorientasi rock dengan permainan gitar shredding dan menghasilkan cukup banyak hits rock klasik. Di antaranya adalah “Out In The Fields”, “Empty Rooms”, “After The War”, “Cold Day In Hell”, “Wild Frontier”, “Friday On My Mind”, “Over The Hills And Far Away”, serta komposisi instrumental apik, “The Loner”.

Mengawali dekade 90-an, Gary berhasil menembus panggung mainstream di Amerika – setelah sebelumnya lebih popular di belahan Eropa – lewat album “Still Got The Blues” yang sangat kental dengan olahan blues-rock pada musiknya. Di album ini Gary melibatkan kontribusi tiga gitaris veteran yaitu Albert King, Albert Collins dan George Harrison. Sejak itu, Gary berkonsentrasi memainkan format blues-rock di album-album berikutnya.

Ozzy Osbourne juga merupakan salah satu musisi yang sangat mengenal sosok Gary. Maklum, Gary pernah bergabung dalam manajemen Sharon Osbourne, istri Ozzy. Bahkan, Gary sempat ditawari untuk menjadi gitaris tetap Ozzy, menggantikan mendiang Randy Rhoads, namun tawaran itu ditolaknya. “Saya sudah mengenal Gary Moore sejak lama. Saya mendapat kehormatan dan merasa senang bisa terlibat di albumnya, After The War, di lagu yang berjudul Led Clones. Kematiannya adalah sebuah kehilangan yang tragis. Kita telah kehilangan musisi fenomenal dan seorang sahabat yang baik. Rest in peace, Gary,” tutur Ozzy kepada majalah Classic Rock. (**)

Modern Blues

Pola permainan gitar Gary, terutama saat mengibarkan Skid Row, diakuinya sangat terpengaruh gaya permainan Peter Green, orang yang berjasa membantunya mendapat kontrak rekaman. Gitar andalan Gary, yakni Gibson Les Paul ’59 pun dibelinya dari Peter. Bahkan di salah satu album solonya, “Blues For Greeny” (1995), Gary secara khusus memainkan ulang lagu-lagu ciptaan Peter. “Di sini saya meniru habis tone gitar Peter semirip mungkin,” ungkap Gary, yang dikutip dari wawancaranya dengan majalah Guitar Player.

Namun ketika menjalani karir solonya, Gary tak ingin terjebak pada pakem standar sound gitar seorang gitaris blues. Terutama di era setelah dirilisnya album “Still Got The Blues”. Gary mengakui tak ingin seperti Eric Clapton misalnya, di era 60-an, atau sekadar mengekor gitaris-gitaris blues yang sudah ada. Ia ingin punya ciri khas sendiri. “Jadi saya memutuskan untuk lebih menonjolkan unsur gitar rock. Saya mencoba untuk lebih modern.”. (***)

  • Sumber: Majalah Gitarplus.


Regina Spektor (Bonnaroo Festival, 2010). Foto oleh: Shantel Mitchell.

Disadur dari: http://www.npr.org
Regina Spektor
, penyanyi-penulis lagu kelahiran Rusia namun dibesarkan di Bronx, New York ini memiliki kesamaan talenta dengan Tori Amos dalam melantunkan kelembutan, kesenduan, dan keunikan yang sungguh berkesan dalam nada yang mendesah. Namun kepekaan pop Spektor lebih tajam daripada sejumlah pendahulunya yang lebih tenar: Ia memiliki segenap karangan lirik tanpa cela dengan iringan kehangatan lugas dan sisi cerah yang kentara, menunjukkan kepandaian bermusik serta kemampuannya mencipta nada-nada elastis, baik saat merindukan kenangan yang memudar atau bagai keriangan kawanan lumba-lumba. Album Spektor terbaru, “Far” yang dirilis tahun 2009, adalah sebuah karya luar biasa yang berciri eksentrisitas dan aksesibilitas suaranya. Mari dengarkan penampilan Regina Spektor dari Festival Musik Bonnaroo di Manchester, Tennessee. (Fargo/BGN)

Adrian Adioetomo - Play Standards (2010)

Judul: Play Standards (Sort Of) Free Download of Practise Session Recordings
Artis: Adrian Adioetomo
Label: My Seeds Record
Genre: Blues / Folk Blues
Tahun: 2010

Ini merupakan album ke-2 yang dirilis oleh Adrian Adioetomo. Direkam menggunakan alat rekam digital-portable di kamar apartemen dan ruang belajarnya pada sesi-sesi latihan selama bulan Juli 2009.

Dalam album ini Adrian memainkan 11 lagu ciptaan musisi-musisi blues legendaris dunia: Robert Johnson, Muddy Waters, Willie Dixon, Jimmy Hendrix, dan Eric Patrick Clapton, serta 1 lagu (Unknown Title) yang diciptakannya sendiri. Dengan penuh keberanian, Adrian mengemas semua lagu tersebut dalam kesederhanaan yang (memang) merupakan inti dari musik blues.

Lewat permainan gitar bergaya ‘Delta Blues‘ yang menjadi ciri khasnya, Adrian kembali mencoba untuk menunjukkan keahliannya memainkan gitar Dobro / Slide yang mampu membuat pendengarnya terhipnotis dalam nuansa blues era 1930-an. Bagi siapa pun yang berhasrat mendalami seluk-beluk perkembangan musik blues, inilah salah satu album yang pantas dikoleksi sebagai bahan referensi wajib. (TLK/BGN)

Gods Of Guitar (Various Artist)

Judul: Gods Of Guitar
Artis: Various Artist (Kompilasi)
Label: Universal Music Indonesia
Genre: Rock / Pop Rock
Tahun: 2010

Album ini berisi 2 keping CD. Di dalamnya terdapat 36 lagu pilihan dari band-band era 70-an hingga 90-an yang bisa dibilang telah menjadi sumber pengaruh bagi banyak musisi masa kini. Kompilasi karya dari band-band besar seperti Kiss, The Rolling Stones, Queen, Rush, Yes, Deep Purple, The Who, Black Sabbath hingga Motörhead yang terdapat dalam album ini dirasa pantas disebut sebagai lagu yang bisa kita dengarkan sepanjang masa.

Dalam resensi majalah Gitarplus edisi Maret-April 2011 disebutkan bahwa guitar hero dimulai dari sini. Pernyataan tersebut (mungkin) memang ditujukan bagi para gitaris atau siapa pun yang ingin mendalami seluk-beluk perkembangan dunia pergitaran. Namun jika ditilik lewat sudut pandang musikologi yang lebih luas, lewat album ini kita akan menemukan lebih dari sekadar perkembangan dunia gitar. (TLK/BGN)

Judul: Musik Antara Kritik dan Apresiasi
Penulis: Suka Hardjana
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: 2004 (Cetakan ke-1)

Buku ini berisi kumpulan artikel yang pernah dimuat di Harian Kompas dari tahun 1972 hingga 2003. Memuat sebanyak 82 judul pilihan artikel sepanjang 376 halaman naskah (asli) tentang telaah peristiwa musik dan beberapa peristiwa kesenian lainnya yang berkaitan dengan musik.

Mengangkat tema kesenjangan jarak antara kritik dan obyek kritik sebagai subjek persoalan. Pada dasarnya kritik adalah sebuah tanggapan dalam bentuk pendapat pribadi berdasarkan pandangan yang mengacu pada suatu pengalaman tertentu. Dalam kondisi keterasingan karya seni dengan publiknya, kritik ternyata masih belum beroperasi secara ideal. Oleh karena itu pesan-pesan apresiasi dibutuhkan untuk menjembatani jarak kesenjangan antara kritik, seni, dan publikasinya. (TLK/BGN)

Musik Dalam Kotak

Posted: June 27, 2011 in Editorial Notes
Tags: , , ,

Alur perkembangan dunia musik tanpa sengaja telah mengotak-kotakkan musik atas genre-genre tertentu. Sering pula kalanya para penikmat musik (juga seniman musik) menjadi terlalu betah dalam lingkup dan batas genre tertentu, bahkan seolah benar-benar terlepas dari konteks musik yang lebih utuh dan menyeluruh. Saat ini, di tengah perkembangan musik dalam varian genre yang makin berkembang, benteng antargenre nampaknya semakin tegas.

Musik yang menjadi familiar di telinga publik (musik industri, musik populer) sedianya hanyalah sebagian kecil dari kekayaan musikalitas yang ada. Pada kenyataannya, dunia musik sangatlah luas, dan apresiasi musik secara utuh ternyata sangat menarik. Kita bisa merunut tiap jenis musik berdasarkan varian konteks—dan selalu ada serpih-serpih menarik pada tiap-tiapnya. Mulai dari musikalitasnya itu sendiri, sisi histori, hingga peran musik dalam kebudayaan manusia secara utuh. Sejauh ini, panggung pertunjukkan musik Indonesia masih jarang menampilkan festival atau konser musik yang mengusung tema apresiasi utuh atas musik. Pertunjukan lebih sering berlabel genre-genre tertentu: panggung rock yang hingar bingar, panggung jazz atau musik klasik yang cenderung terbatasi ekslusivitas; panggung musik etnik yang konsumennya adalah peminat khusus; atau panggung musik pop yang selalu ramai dalam histeria penggemar fanatik para popstar. Jikapun ada pertunjukan yang menampilkan beragam genre, cenderung belum cukup terkemas sebagai media apresiasi musik yang utuh. Ajang seperti ini seringkali malah lebih kental dengan sisi seremoni (perayaan gaya hidup) atau pertunjukan megah di bawah bayang-bayang kepentingan komersil semata.

Di tengah sisi gaya hidup dan industri yang belakangan ini lebih banyak mendominasi dunia musik, masyarakat kita juga perlu (untuk lebih sering) disuguhi konser apresiasi musik yang mengusung sisi musikalitas dengan lebih utuh dan bersifat edukatif. Salah satu upaya ke arah ini bisa direalisasikan dengan penyelenggaraan ‘pertunjukan musik bertanggung jawab’, yaitu pertunjukan musik yang benar-benar terkemas, dan bukan melulu mengedepankan komersialitas sebagai motivasi utama. Dalam pertunjukan yang seperti ini, konsumen bukan sekadar menonton dan menikmati sensasi pertunjukan, melainkan yang lebih utama adalah mengapresiasi secara lebih utuh apa yang dipertunjukkan. Sebuah pertunjukan lintas genre yang dikemas secara konseptual dengan mengandung muatan informasi (yang kredibel) atas apa yang akan dan sedang dipertunjukan adalah satu penyajian yang pantas untuk ditampilkan.

Jika tanpa mengedepankan sisi apresiasi, sebuah ajang musik bisa saja malah menjebak publiknya menjadi penikmat musik yang hanya tergiring oleh arus industri dan gaya hidup—tuna musikalitas. Sisi musikalitas, nilai artsistik secara umum, serta penyebaran dan penyerapan pengetahuan musik, sejatinya memang menjadi poin-poin penting dalam suatu pertunjukan musik. Pertunjukan seperti ini kelak akan mampu membentuk publik musik yang punya bobot, dan mampu menyambut berbagai ragam karya artistik yang berkualitas. Dalam masyarakat yang berbudaya, seniman dan publik penikmatnya memang sepatutnya sama-sama punya bobot yang baik dalam hal seni. Kenyataannya, bahkan untuk sekadar menikmati karya-karya berkualitas pun memang membutuhkan pembelajaran serta naluri seni yang terasah.*** (Oleh: Lukas A. Felixtus)